Minggu, 06 Januari 2013

trik mengajar

BAGIAN 1 MERANCANG ALAT Mengapa? Stephen Covey menyampaikan bahwa kebiasaan terbentuk saat seseorang tahu apa yang harus dilakukan, tahu mengapa melakukannya dan memiliki alasan bagus untuk melakukannya, dengan kata lain tahu mengapa. Tahu apa yang harus dilakukan = kesadaran. Tahu bagaimana melakukannya = keterampilan. Tahu mengapa melakukannya = motivasi. Secara keseluruhan, praktek baru tidak akan berkelanjutan kecuali orang memiliki: • Motivasi untuk tetap melakukannya, yang berasal dari kepercayaan. • Pemahaman tentang prinsip-prinsip yang mendasari praktik tersebut. Sehingga metodologi baru tersebut dapat terus segar dan dicipta ulang. Di masa lalu, mengajar itu cenderung hit-and-miss karena sebagai suatu profesi, kita kurang yakin tentang belajar. Bahkan sekarang cara mengajar dari banyak guru berada diluar dari cara kebanyakan siswa belajar. Dalam Effective Learning in Schools Christopher Bowring-Carr dan John West-Burnham menekankan: bahwa belajar harus memiliki konsekuensi bagi siswa. Dengan “konsekuensi” kita bermaksud bahwa dengan mempelajari x, siswa akan melihat dunia dengan cara yang sedikit berbeda, akan mengubah perilaku atau sikapnya dalam beberapa hal. Jika “belajar” yang telah berlangsung hanya dapat dihasilkan ulang di saat nanti dalam jawaban terhadap permintaan dari suatu bentuk penilaian yang meniru problem asli dan konteks untuk problem tersebut, maka apa yang dipelajari adalah hanya “belajar yang dangkal”. Belajar yang mendalam menuntut pengembangan realitas personal yang semakin bagus dengan disiplin dan kompetensi yang sesuai. Trik dan Taktik Mengajar berusaha memberikan beberapa cara untuk sampai di “belajar yang mendalam” (achievement), bahkan dalam budaya yang terutama peduli pada “belajar yang dangkal” saja (attainment). Sekarang otak dipandang dinamis, bukan suatu jenis komputer yang mengolah melalui milyaran input tiap detik. Otak dianggap suatu organisme yang fleksibel, self-adjusting, unik, selalu berubah dan terus tumbuh dan menata ulang sebagai respon untuk tiap stimulus. Otak bekerja mirip permukaan kolam. Input baru memicu gangguan yang luas di sejumlah kondisi yang ada. Sirkuit otak tertarik ketat dalam keadaan tegang dan ketika sebutir kerikil dilemparkan (input sensor), langsung ada riak aktifitas. Kerikil baru menciptakan pola yang berinteraksi dengan pola yang bertahan dari input sebelumnya. Maka segala sesuatunya memantul di sisi-sisi. Tidak ada yang dihitung. Respon dari kolam terhadap input adalah organik, atau lebih tepatnya dinamis. Lalu apa? Pandangan revolusioner terhadap otak hanyalah bagian dari perombakan pemikiran yang lebih luas, yang telah memperoleh momentum dalam lima belas tahun terakhir. Tidak ada kepastian yang ada hanyalah percobaan. Reflektif dari Guy Claxton Wise Up: The Challenge of Lifelong Learning menjadi kasus persuasif untuk perubahan besar dalam pemikiran kita mengenai belajar, bersekolah, training dan parenting. Life skill utama untuk abad 21 adalah kemampuan untuk menghadapi tantangan yang luar biasa dan sulit dengan tenang dan kreatif. Di seluruh dunia, teknologi informasi dan komunikasi semakin dipahami dan banyak dipakai oleh orang kebanyakan. Hal ini membawa dua keuntungan besar dan positif bagi pembelajaran: Pertama, para guru secara bertahap dibebaskan dari keharusan sebagai pengirim utama akan informasi, ide dan keterampilan, yang memungkinkan mereka berkonsentrasi pada fasilitasi pembelajaran, dan menjadi pelatih belajar. Kedua, siswa diberdayakan untuk belajar secara mandiri. Mereka dapat mengakses sebagian besar informasi yang mereka perlukan, dan seringkali seluruh pelajaran, dalam CD atau secara online. Belajar, bahkan pelajaran ujian reguler, dapat berlangsung di pusat belajar sekolah, di rumah atau di warnet sekitar, yang artinya siswa dapat mengatur kapan dan dimana mereka belajar, dan seringkali bagaimana. Karakteristik visual dan interaktif dari kebanyakan sumber hi-tech membuatnya menarik bagi siswa yang berjuang dengan rutinitas akademis. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak terikat waktu, ruang dan tradisi. Yang perlu dilakukan siswa adalah belajar bagaimana belajar. Bahkan para pendidik dalam kelompok ”belajar untuk belajar” sering berdebat dengan dasar ekonomi, mereka berkata bahwa orang sering diminta untuk belajar dalam pekerjaan mereka dan tidak terhindarkan harus berlatih ulang setidaknya sekali dalam masa kerja mereka, jadi mereka membutuhkan keterampilan tersebut untuk melakukannya. Jelas, pendidikan dan ekonomi berada dalam hubungan yang saling bergantung: masing-masing memerlukan lainnya, dan hal ini akan tetap seperti itu. Ada dua hal yang diperdebatkan: Pertama, menonjolnya ekonomi dalam pemikiran nasional tentang pendidikan: saat ini ekonomi mendominasi dan mendikte. Target pelatihan dan pendidikan nasional diatur secara eksplisit untuk meningkatkan daya saing; strategi nasional melek aksara dan angka dan perhatian saat ini yang diberikan untuk kecakapan berpikir dan belajar dimaksudkan untuk melayani tujuan yang sama. Debat yang kedua, berkaitan dengan pemahaman negara akan apa yang ekonomi sekarang perlukan dari pendidikan. Menurut Abbot dan Ryan, kebutuhan sosial dan ekonomi saat ini mendukung model belajar yang baru, mencakup: 1. penguasaan kecakapan-kecakapan dasar; 2. kemampuan untuk bekerja dengan orang lain; 3. dapat mengatasi gangguan yang konstan; 4. bekerja di berbagai tingkatan dalam berbagai disiplin; 5. menggunakan terutama kecakapan verbal, dan; 6. memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sebaliknya, kebanyakan pemikiran politis tentang pendidikan didorong oleh pemahaman yang kuno mengenai kebutuhan bisnis. Kebijakan pendidikan masa kini jauh tertinggal, melayani zaman pabrik yang tua, bukan zaman informasi yang baru. Menambah masalah adalah ide naif yang mengatakan bahwa hasil dari pendidikan dapat diubah secara fundamenal dengan mengubah kurikulum dan isinya. Ini tentu saja tidak masuk akal. Robinson menyimpulkan bahwa: ini tidak mengejutkan...kurikulum akademis tradisional tidak dirancang untuk mendorong kreativitas. Mengeluhkan bahwa sistem tersebut tidak menghasilkan orang kreatif seperti mengeluh bahwa sebuah mobil tidak dapat terbang... karena ia tidak pernah dimaksudkan demikian. Intinya, secara internasional dan nasional, adalah bahwa jawaban terhadap masa depan tidak hanya meningkatkan banyaknya pendidikan, tetapi mendidik orang secara berbeda. Belajar yang kreatif dimungkinkan dengan pengajaran kreatif, Ini bukan suatu proses yang mudah dan memerlukan keterampilan yang canggih dari para guru. Jika kita ingin lepas dari belenggu ”belajar yang dangkal”, melalui zaman yang tidak menentu ini dan membentuk suatu masa depan yang kokoh secara moral dan bermanfaat bagi semua, maka tujuan seperti ”pengembangan pikiran” dan ”perlindungan demokrasi”, yang lain seperti ”penciptaan sebuah masyarakat inklusif dan egaliter” atau ”melengkapi manusia yang utuh” harus menjadi pendorong dan bukannya kepeduliaan setengah hati. Kemudian ada pertanyaan bagaimana pendidikan seharusnya diorganisir. Semua ini tergantung pada tujuan utamanya, tentu saja. Jika pendidikan dimaksudkan untuk melindungi tatanan sosial dan sikap kerja masa lalu, maka kita mungkin menginginkan sekolah dari jenis kita miliki sekarang. Jika tujuan utama adalah membantu orang untuk belajar bagaimana belajar, kita akan mengajukan peertanyaan yang serius bersama Sir Christopher Ball, pendukung Campaign for Learning: Apakah mungkin untuk menyesuaikan pendidikan sekolah tradisional untuk memuaskan para siswa – atau seharusnya kita berpikir untuk menggantinya dengan sesuatu yang berbeda secara keseluruhan? Learning society yang sebenarnya yang kita cari akan membutuhkan satu jenis guru baru – yang lebih seperti pemandu daripada instruktur, lebih paruh waktu daripada penuh waktu, lebih sebagai filsuf daripada pedagogis. Jika tujuan utamanya adalah untuk mendorong demokrasi, kita akan memiliki sekolah demokratis. Jawaban terbaik tentunya mendasarkan kebijakan pada apa yang kita ketahui tentang belajar. Dengan kata lain, satu-satunya cara untuk belajar bagaimana melakukan sesuatu adalah dengan melakukannya! Ada kesamaan diantara siswa Muncul dari riset ilmu syaraf terbaru ada beberapa kenyataan tentang bagaimana otak berfungsi. Dalam pencarian keunggulan belajar, maka, nampaknya pendidik yang terampil menghadapi tiga tugas: • Pertama, untuk mendorong koneksi syaraf melalui tantangan yang menciptakan tingkat stimulus yang tinggi. • Kedua, untuk memperkuat koneksi yang ada. Semakin banyak jalur syaraf yang dipakai, semakin efisien jadinya. Axon menjadi terlindungi oleh suatu zat berlemak putih yang disebut myelin, yang mempercepat proses pengiriman sinyal listrik - kimia – listrik , dan neuron merespon dengan lebih sedikit usaha terhadap pemicu awal. Di sisi lain, koneksi yang tidak terpakai akhirnya hilang, mereka terpangkas. • Tugas pendidik adalah meminta siswa untuk menata ulang jaringan koneksi syaraf yang telah ada dengan mengambil data di papan yang akan mengasuh keterampilan. Untuk mencapai hasil terbaik, jelas penting untuk bekerja bersama proses alami dari otak, untuk mengajar yang sesuai dengan cara belajar alami dari para siswa. Tetapi, biasanya, belajar seharusnya menjadi awal yang sangat bagus karena nampaknya setiap orang dilahirkan dengan beberapa kecenderungan, antara lain: • Keinginan untuk bekerja bersama dengan orang lain. • Kecenderungan dan kemampuan belajar bahasa. • Kemauan dan ketrampilan membuat pola Kecenderungan alami untuk belajar matematika, menurut Brian Butterworth, Profesor Cognitive Neuropsychology di University College, London. Berada dalam kendali guru adalah harapan. Pandangan guru secara internal terhadap kemampuan siswa memiliki dampak langsung pada kinerja siswa yang sebenarnya. Dalam penelitian itu siswa-siswi dikelompokkan secara acak, dan mereka berbeda kemampuannya. Coba tebak. Hasil dari kelompok yang secara salah dianggap siswa pintar naik dan hasil dari “low achiever” turun. Roshental mengidentifikasi enam cara bagaimana guru menyampaikan harapan yang tinggi: 1. guru mengekspresikan keyakinan akan kemampuannya dalam menolong siswa. 2. guru mengekspresikan keyakinannya akan kemampuan siswa. 3. sinyal nonverbal-nya konsisten dengan apa yang dikatakannya: nada bicara, pandangan mata, tingkat energi. 4. guru memberi umpan balik yang spesifik dan cukup dan menyebutkan kebaikan dan kekurangan mereka. 5. guru memberi masukan yang terinci pada siswa secara individu. 6. guru mendorong peningkatan secara individu melalui tantangan. Guru menyampaikan harapannya melalui energi yang mereka bawa ke ruang kelas, melalui kata-kata yang mereka ucapkan dan cara mereka mengucapkannya, melalui usaha yang mereka lakukan untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan sebuah kelas, dan mungkin paling penting, melalui perencanaan tugas belajar. Bersama-sama, hal ini memberi pengaruh terhadap self-image dan self-esteem. Hasil dari self-belief bisa mendorong atau menekan motivasi dan ketekunan. Harapan diterima oleh siswa dari sumber lain juga – keluarga, teman sebaya, budaya komunitas lokal, media dan dalam banyak kasus guru harus bekerja lebih keras untuk memutar gagasan negatif. Penting bagi kita untuk mempertahankan harapan yang tinggi bahkan di depan bukti yang bertolak belakang. Reading scores, tes base-line, dan procedur value-added dapat dengan pasti membatasi harapan kita terhadap siswa. Juga dalam kendali guru adalah kultur dari ruang kelas – lingkungan psikologis dan emosional untuk belajar. Demikian juga, kita mengendalikan lingkungan fisik untuk belajar. Otak terus memerlukan pasokan oksigen (otak membutuhkan seperlima dari pasokan tubuh), suhu sejuk (buka jendela), lebih disukai udara yang di-ionisasi secara negatif (gunakan unit ioniser untuk ruang kelas, atau buat sebuah air terjun!). Udara ini menyerap jumlah informasi yang banyak dari material tambahan (memiliki banyak display). Warna, aroma, cahaya, dan mebel (pasang karpet,redekorasi) memiliki efek yang besar terhadap mood, dan musik dapat membuat perbedaan besar. Otak mengubah musik menjadi energi intelektual, ia secara harfiah memberi makan otak. Jenis musik berbeda kelihatannya mempunyai efek berbeda (debat Mozart). Jenis makanan yang ditawarkan di kantin saat makan siang ada dalam kendali sekolah, seperti juga persediaan air dingin murni (taruh banyak dispenser di sekitar gedung). Seratus sembilan puluh galon darah lewat melalui otak tiap 24 jam. Jika otak kekurangan air, keseimbangan elektrolitik dari otak terpengaruh dari kinerja mental terganggu. Delapan hingga sepuluh gelas air sehari diperlukan untuk fungsi optimum, Secara umum, ”kondisi” siswa, untuk menggunakan istilah teknis, dapat diubah. Siswa dapat dibuat lebih ”siap” untuk belajar. Alistair Smith memberi kita alasan tambahan untuk dapat ceria: anak-anak bisa semakin pintar melalui intervensi yang terampil dari guru. Tidak benar bahwa intelegensi seorang anak muda tidak dapat diubah. Ada banyak bukti bahwa tingkat intelegensi anak-anak meningkat secara substansial saat lingkungannya mendukung. Jadi, secara umum, prospek untuk meningkatkan prestasi terlihat bagus.Tentu saja, ada tantangan utama, khususnya dalam lingkungan sosioekonomi dan sosiokultural yang sulit. Tetapi, guru dapat membuat perbedaan, dan akan melakukannya jika mereka mengikuti beberapa pedoman sederhana. Akhirnya kita dapat mulai menjelaskannya. Berikut, seperti yang dijanjikan, adalah empat kesamaan diantara siswa: 1. Tiap orang perlu menyelesaikan sesuatu untuk diri sendiri. 2. Pengalaman yang multi-indera, dramatis, aneh, dan emosional akan diingat lebih lama dan lebih terinci daripada pengalaman biasa dan rutin. 3. Tiap orang perlu merasa terjamin secara emosional dan aman secara psikologis. 4. Siswa lebih termotivasi, terlibat dan terbuka ketika mereka dapat sedikit mengendalikan belajar mereka. 1. Tiap orang perlu menyelesaikan sesuatu untuk diri sendiri Belajar muncul melalui otak dalam membuat maknanya sendiri, memahami sendiri banyak hal. Banyak peneliti membedakan dua jenis makna: makna ”pointer” dan makna ”sense” (Kosslyn), atau makna ”permukaan” dan makna yang ”terasa dalam” (Caine and Caine). Ambil contoh teorema Pitagoras. Makna pointer atau permukaan merujuk pada kemampuan untuk menamai dan merujuk suatu ide, jadi akan tahu bahwa kuadrat dari hipotenusa sama dengan jumlah kuadrat dari kdua sisi lainnya. Makna sense atau yang terasa dalam berbeda. Arti ini melibatkan pemahaman mengapa kuadrat hipotenusa seperti ini. Ini merupakan pemahaman konseptual, yang mungkin hasil dari mendengarkan ide yang dijelaskan berkali-kali oleh banyak orang, melihatnya disampaikan secara visual, kebetulan menonton program TV tentang manfaatnya dalam arsitektur, ” mengerjakannya” dengan potongan-potongan kartu, membaca apa yang membuat pitagoras menemukan hal ini untuk pertama kali. Potongan-potongan terpisah ini terajut bersama di dalam pikiran dan tiba-tiba segala sesuatunya masuk akal: semuanya jelas. Makna dalam ini, atau pemahaman yang terinternalisasi, adalah jenis belajar yang menjadi perhatian kita disini. Hart berkata, ”Ini bisa dinyatakan secara tegas bahwa...otak manusia tidak ditata atas dirancang untuk pemikiran satu jalur linear”. Sebelum ini dikatakan bahwa ilmuwan modern melihat otak sebagai sesuatu yang dinamis dan responsif, tidak seperti komputer. Gestalt terbentuk secaratidak terduga ketika sejumlah realisasi muncul besrama-sama, yang dipicu oleh siapa tahu apa? Jadi, sia-sia menjelaskan pertama kali tentang kuadrat, kemudian tentang angka kuadrat, kemudian tentang segitiga, kemudian tentang kaitan antara ketiga sisi tersebut dan mengharapkan tiap siswa memahami guru dalam tiap langkah. Akan tetapi, siswa membentuk gestlat dengan memecahklan petunjuk, menata potongan informasi, dan mengenali hubungan antara berbagai sumber. Mereka tidak harus menangkap sesuatu hanya karena guru telah menerangkannya. Lebih lanjut, Hart menyatakan juga bahwa ”belajar adalah ekstraksi dari pola-pola bermakna dari kebingungan.” Dan ”tidak ada konsep, tidak ada fakta dalam pendidikan yang benar-benar lebih penting daripada hal ini: otak, oleh desain alam, merupakan alat pendeteksi pola yang luar biasa sensitif dan canggih.” Pembentukan konsep bergantung padaa apa yang siswa lakukan, dalam kepala mereka, bukan apa yang guru lakukan. Jadi jelas: buatlah belajar yang secara mental aktif dan buat jenis kegiatan yang investigatif dan memecahkan masalah yang meminta otak bekerja sesuai kecenderungan alaminya – berperan aktif. Jelas,”Pengenalan pola sangat bergantung pada pengalaman apa yang seseorang bawa ke suatu situasi.” ujar Hart. Inilah mengapa siswa menangkap ide pada waktu yang berbeda-beda dan belajar dengan kecepatan berbeda. (a) Dorong siswa untuk menemukan dan mengerjakan hal-hal, untuk mereka sendiri Guru membuat fungsi implisit dan alami dari neokorteks menjadi eksplisit. Manfaatkan keingintahuan dan hasrat bawaan untuk membuat kaitan. Pada tingkat yang paling sederhana, baliklah proses yang biasa dan minta siswa mengajukan pertanyaan kepada guru. (b) Dorong siswa untuk menyampaikan ”ide kasar” Mempelajari sesuatu, membahas sesuatu, menyampaikannya, memahaminya di luar kepala – ini semua memainkan peranan penting dan alamiah dalam proses pembentukan konsep. Kita adalah mahluk sosial, otak kita berkembang di lingkungan sosial dan kita sering memaknai sesuatu melalui interaksi sosial dan kita sering memaknai sesuatu melalui interaksi sosial. Jadi, diskusi, peer teaching, menulis draft, presentasi ke orang lain dan berpikir-berbicra-merespon adalah cara-cara klasik agar siswa mengungkapkan pikiran mereka, dan oleh karenanya mempercepat proses sortir dan koneksi di kepala mereka. (c) Hanya ada sedikit nilai dalam pemberian ”makna siap saji” bagi siswa Maksudnya adalah benda-benda seperti catatan cetakan, dikte, mengkopi, mind-map, yang digambar sebelumnya, latihan berjenis mengisi celah (yang biasanya ubahan dari ”cloze procedure” asli). Materi ini mungkin tertata rapi dalam map sisiwa dan memberi kesan yang menenangkan bagi semuanya bahwa tugas telah dilaksanakan, tetapi hanya sedikit belajar mendalam yang telah terjadi. Sebagai gantinya, guru bisa mengajarkan berbagai cara untuk sampai pada pola pemaknaan mereka sendiri dan merekamnya. (d) Tiba pada konsep penting yang sama dari sudut yang berbeda dalam cara yang berbeda. Membangun suatu rangkaian tahap yang logis dan linear menuju sebuah konsep, dan kemudian berpindah ke konsep selanjutnya, tidak akan berhasil bagi kebanyakan siswa. Mereka biasanya perlu banyak contoh dan aplikasi dengan sejumlah penjelasan dalam berbagai media jika mereka ingin ”memahaminya” (dalam), bukan hanya belajar permukaannya saja (dangkal). Secara kontinyu berpindah dari Ide Besar ke detail, dan kembali lagi, menggambar, menirukan, mengucapkan, memetakan, mengucapkan, menyanyikan, mendemonstrasikan, mencontoh, mengurutkan, mendudukkan di kursi panas (pernah mengobrol dengan siklus air?), menarikan, menuliskannya – kombinasi yang tidak biasa dari teknik-teknik ini yang diberikan dalam urutan yang cepat membantu hemisfer neokorteks kiri dan kanan untuk bekerja bersama dan mendorong pemahaman. Cara yang paling efisien bagi siswa untuk ”memahami” suatu konsep adalah melihat gambar dan ”mengerjakan” ide, bukan mendengar atau membaca tentangnya. (e) Sediakan umpan balik interaktif yang spesifik dan langsung Siswa belajar untuk maju melalui berbagai level dengan cepat karena mereka memperoleh umpan balik yang segera dan tepat terhadap keputusan yang mereka lakukan. Otak secara luar biasa siap menerima umpan balik – otak memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya berdaasar pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Otak self-refencing dan self-rectifying; ia siap membuat umpan balik yang “hot”, atau dengan kata lain yang relevan dan segera, untuk kecakapan dan konsep yang sedang berkembamg . Selain umpan balik guru, reaksi dari teman, verbal atau non verbal, merupakan sumber penting informasi bagi siswa. Reaksi ini bisa spontan, hasil sampingan dari aktifitas ruang kelas reguler yang aktif, atau bisa juga direncanakan, seperti dalam aktifitas peer redrafting dan peer assessment (penilaian oleh teman). (f) Sela pembelajarannya Menurut Jensen, ada tiga alasan untuk ini: • Pertama, banyak dari apa yang kita pelajari tidak dapat diproses dengan sadar karena berlangsung terlalu cepat. Kita perlu waktu untuk memprosesnya. • Kedua, untuk menciptakan makna baru, kita perlu waktu internal. Makna selalu dihasilkan dari dalam, tidak dari luar. • Ketiga, setelah tiap pengalaman belajar baru, kita perlu waktu agar belajar ”membekas”. Bekerja dengan ”grain of the brain” – mengajar melalui pertanyaan, tantangan, misteri yang membangkitkan minat serta aktifitas yang kreatif – bermanfaat bagi semuanya. Siswa menjadi lebih terlibat dan mencapai tingkat pemahaman yang lebih dalam. Maka guru tidak harus menekankan terlalu keras. Jelas bahwa pendapat ini mensuport minat dalam keterampilan berpikir saat ini. Hambatannya adalah bahwa guru merasa mereka tidak punya waktu untuk mengajar seperti ini karena mereka mempunyai ”silabus yang harus diselesaikan”. Akan tetapi banyak guru mengeluhkan bahwa siswanya tidak mengingat apa yang telah mereka pelajari! 2. Pengalaman yang multi indera, dramatis, tidak biasa atau kuat secara emosional diingat. Jauh lebih lama dan lebih banyak detail daripada pengalaman rutin biasa. Ada tiga poin mengenai hal ini: • Pertama, otak memiliki kecondongan perhatian untuk sesuatu yang baru. Otak jauh lebih tertarik pada yang baru daripada yang biasa. Sylwester dan Cho menemukan bahwa otak memiliki kecondongan bawaan untuk stimulus jenis tertentu. Karena otak tidak dapat memberi perhatian untuk semua jenis data yang masuk, ia memisahkan hal-hal yang kurang penting untuk bertahan hidup. Stimulus apapun yang dikenalkan dalam lingkungan langsung kita, baik yang baru (segar) maupun agak berbeda dalam intensitas emosionalnya (sangat kontras) segera mendapat perhatian kita. Siswa sebenarnya lebih memahami ”isi” dalam suasana tegang; penuh kejutan, ketidakseimbangan, ketidakpastian dan kekacauan! Prigogine lebih jauh mengatakan bahwa otak didesain untuk kekacauan: ”ketidakstabilan menghasilkan kegiatan dari arah yang bermakna.” Karena otak suka memisahkan sesuatu untuk dirinya sendiri, dan menyukai variasi, pendekatan behavioristik yang sangat teratur sebenarnya kemungkinan tidak akan memberi hasil yang diinginkan. • Kedua, yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengingatan. Tidak ada satu bagian pun dari otak yang digunakan untuk menyimpan ingatan. Dulu dikatakan bahwa kita memiliki dua jenis memori; jangka pendek dan jangka panjang, tetapi sekarang umumnya dianggap bahwa kita memiliki setidaknya lima! 1. Memori yang bekerja, yang berada di prefrontal dan parietal korteks sangatlah pendek, hanya beberapa detik lamanya. 2. Memori implisit, yang seringkali dibagi menjadi menjadi ”refleksif” dan ”prosedural”, disimpan dalam cerebellum, atau mengendarai mobil secara ”autopilot”. 3. Memori episodik, pencatatan pengalaman pribadi seseorang (yaitu lokasi, peristiwa, orang-orang yang terlibat, situasi), disimpan dalam hippocampus; 4. memori eksplisit atau deklaratif: memori jauh, menyebar mengitari korteks, yaitu kumpulan data seumur hidup mengenai banyak topik – ideal untuk Trivial Pursuit. 5. Memori semantik, yang diciptakan dalam hippocampus dan disimpan dalam angular gyrus, mempertahankan makna kata dan simbol dari buku teks, video, diagram, program komputer, cerita tertulis, dan lain - lain serta memberi kita pemahaman umum kita tentang cara kerja dari dunia dan hal-hal dalam ujian. • Ketiga, adalah pentingnya gerakan. Ide lama yang menyatakan pikiran dan tubuh terpisah telah dibuang keluar untuk alasan biologis yang kuat. Sebagai contoh, berbagai penelitian tentang cerebellum, yang dianggap berhubungan hanya dengan fungsi motor, telah mengungkapkan bahwa ia sangat berkaitan dengan persepsi ruang, bahasa, perhatian, emosi, pembuatan keputusan dan memori. Implikasi dari hal ini jelas: pastikan bahwa ada cukup gerakan fisik, bahkan dalam situasi belajar “akademis”’ yang merupakan kebalikan dari apa yang kebanyakan guru percayai. Tetapi apakah gerakan dapat meningkatkan prestasi? Ya! Dalam sebuah penelitian di Kanada terhadap lebih dari 500 siswa yang dilaporkan oleh Dr. Carla Hannford, pengarang Smart Moves: Why Learning is Not All in Your Head, mereka yang menghabiskan satu jam tambahan tiap hari di kelas gym jauh lebih baik dalam ujian daripada mereka yang tidak berlatih. 3. Setiap orang perlu merasa aman secara emosional dan psikologis. Emosi lebih kuat daripada pikiran. Emosi berbeda dari perasaan. Emosi antara lain adalah kegembiraan, ketakutan, keterkerjutan, muak, kemarahan, dan kesedihan. Ini adalah fenomena universal, yang sepenuhnya biologis dan berjalan ke jalan bebas hambatan di otak. Perasaan adalah respon yang berkembang secara kultural dan mental terhadap kondisi dan mengambil jalur yang lebih memutar dan lebih lambat ke tubuh. Dikatakan bahwa emosi manusia tidak hanya memiliki hubungan negatif dengan proses belajar. Misalnya motivasi. Orang menginginkan lebih banyak hal yang mereka alami menyenangkan, dan lebih sedikit yang membosankan atau menyakitkan. Otak memiliki sistem reward-nya sendiri, dengan menghasilkan opiate yang mengaitkan perasaan senang dengan perilaku yang menyenangkan. Siswa yang berhasil akan merasa senang. Seringkali, semakin kita gembira, semakin cepat dan semakin akurat kita mensortir dan mengaitkan data-data yang masuk. Siapa bilang belajar tidak boleh menyenangkan? Otak menghasilkan hormon, terendam didalamnya dan dijalankan olehnya: dengan kata lain, emosi berkuasa. Apa yang kita ketahui tentang dominasi emosi membawa kita untuk menyelidiki tiga aspek dari kegiatan: (a) Aturan ruang kelas Belajar paling efisien terjadi ketika siswa sama sekali tidak takut ditekan, diejek, dilecehkan, diabaikan, ditinggal, diolok-olok, diremehkan, atau dipermalukan. Aturan dasar kelas yang tegas, yang dibuat bersama siswa, dapat memperkuat norma-norma perilaku positif dalam mendengarkan dan mengurangi peremehan. Gagasan untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan harmonis seperti ini sangat berhubungan dengan kepedulian untuk kewarganegaraan dan gerakan nasional untuk menerapkannya. (b) Perilaku dan sikap kita sendiri Ini artinya adalah cara kita berkomunikasi dengan siswa. Peneliti R.C.Mills menemukan bahwa siswa merasakan suatu keadaan emosi tertentu dari guru, yang mempengaruhi kesadaran mereka. Guru yang humoris, tersenyum hangat, memiliki sikap yang menyenangkan dan sungguh-sungguh gembira dalam pekerjaannya akan menyebabkan sisiwa bekerja lebih baik daripada siswa dengan guru yang tidak menunjukkan karakteristik ini. Dorongan, umpan balik positif dan pengakuan semua tampak melepaskan serotnin – neurotransmitter yang penting yang membantu interkoneksi syaraf. Sebagian besar komunikasi itu non verbal, cara kita memandang, bagaimana kita berbicara, dan apa yang kita lakukan, yang digabung dengan apa yang kita sebenarnya katakan, memberi hasil total. Efek dari ”cara guru” terhadap siswa memiliki dua sisi: Pertama, langsung terhadap perasaan nyaman mereka. Kedua, terhadap persepsi mereka mengenai apa yang bisa diterima; kita memberi teladan tentang norma kepada mereka, mereka akan mengambilnya. Jadi, bika kita sarkastik, misalnya, siswa mungkin akan merasa tegang dan mereka sendiri mungkin menggunakan sarkasme. Kita dengan jelas dapat melihat bagaimana guru dapat mempengaruhi ”keadaan” siswa seperti yang dijelaskan accelerated learning. Tentu saja, hal ini menuntut guru agar peduli diri dan trampil, atau dengan kata lain mereka sendiri perlu cerdas secara emosional. (c) Pengajaran kecerdasan emosional Ada harapan bahwa siswa mampu mengidentifikasi, menyebutkan, dan menjelaskan perasaan. Kemudian ada kemampuan dalam menangani emosi mereka sendiri dan merespon emosi orang lain dengan benar. Lebih lanjut lagi, ada perkembangan kepribadian yang diharapkan, seperti pengendalian dorongan hati, keteguhan, dan ketangkasan sosial, ditambah nilai-nilai yang diinginkan, seperti kejujuran dan komitmen terhadap keadilan. Untuk mendukung hal ini adalah penerimaan tanggung jawab personal: kemauan untuk melihat kehidupan sebagai serangkaian pilihan dari waktu ke waktu; dan kemauan untuk mengubah perilaku, perasaan dan keyakinan berdasar kesadaran akan potensi pribadi dan keterbatasan yang self-imposed. Luar biasanya, ini semua dapat diajarkan. Stephen Bowkett berkata, ”Self-intelligence adalah tentang memberi anak-anak dengan peralatan emosional, dan memberi mereka keterampilan untuk mengambil alat yang tepat. Emotional resourcefulness adalah kemampuan untuk mengetahui dan memahami anda sendiri dan melakukan yang terbaik dari pemahaman itu.” Mengambil struktur dari lima kompetensi emosional dari Goleman: • Self awareness. • Mengendalikan emosi. • Kendali diri / motivasi diri. • Empati. • Menangani hubungan / seni sosial. Beberapa tahun lalu, Nathaniel Branden, yang berpraktek sebagai psikiaterklinis, menghubungkan apa yang kita sebut kecerdasan emosional dengan self-esteem, menurutnya self-esteem dapat didefinisikan sebagai ”karakter untuk memberi pengalaman pada diri sendiri untuk mampu menangani tantangan dasar dari kehidupan”, dan dibentuk dengan enam karakter kehidupan. • Hidup dengan sadar. • Self-acceptance. • Tanggung jawab diri. • Self-assertiveness. • Hidup dengan tujuan. • Integritas personal. 4. Siswa menjadi lebih termotivasi, terlibat dan terbuka ketika mereka mempunyai sedikit kendali atas belajar mereka. RAS (reticular activiting system) telah dianggap sebagai komando sentral dari otak, yang bekerja sebagai “mekanisme gerbang” untuk masukan bagi indera dan mengakibatkan seseorang untuk memusatkan perhatiannya. RAS akan siap menerima informasi yang baru atau tidak biasa, yang membantu memenuhi kebutuhan fisik atau psikologis yang dapat ”dirasakan”. Atau yang berkaitan dengan pilihan yang kita buat. Sedikitnya ada empat implikasi dari hal ini pada pengajaran dan belajar. Pertama, berikan kesegaran dan variasi untuk mempertahankan perhatian, baik saat pelajaran atau diantaranya. Ini telah menjadi tema yang terus muncul dalam Kotak Alat ini. Kedua, pahamilah bahwa otak akan memberikan prioritas pertama untuk kebutuhan pokok – jika siswa lapar, haus, kedinginan atau sedang benar-benar ingin ke belakang, mereka tidak memperhatikan Teorama Pitagoras, tidak peduli betapa pentingnya hal ini. Ketiga, ”gambaran besar”. Jika siswa memahami tujuan dari pelajaran atau skemanya, apa yang dikandungnya, bagaimana kecocokannya dengan apa yang baru dipelajari sebelumnya, akan mengarah kemana hal ini nantinya, dan mengapa hal ini penting untuk assesement di masa mendatang, maka RAS mereka akan mulai ”terbuka”. Keempat, tujuan personal. Tidak ada kelenturan dalam sistem ini sehingga setidaknya siswa dapat berkonsentrasi terhadap target belajar yang lebih bermakna, mereka masih harus menyelesaikan jadwal pelajaran secara kaku dimana semua isi pelajaran dan prosesnya dibuat oleh guru, ini semua terasa menjadi ritual. Guru perlu berfungsi lebih sebagai pembimbing dan pelatih, hubungan antara guru dan siswa harus tulus, kurikulum yang dirancang harus tetap berjalan dan sumber-sumber belajar, termasuk waktu dan ruang harus dipergunakan lebih fleksibel agar lebih dapat dipakai secara personal. Kelima, rencanakan bersama siswa. Ini adalah jalan menuju rasa memiliki dan motivasi diri dan yang dapat dilakukan bahkan dalam kerangka kurikulum nasional dan silabus ujian. Ada empat level dimana kegiatan ini dapat terjadi:  Dalam negoisasi sangat dalam terdapat negosiasi terbuka dengan siswa: --apa yang harus dipelajari tidak dapat dinegosiasikan – tetapi bagaimana ia dipelajari ditentukan oleh siswa secara bersama dan demokratis.  Menggabungkan belajar dengan minat siswa sendiri dan menyelesaikan rencana belajar personal agar sesuai dengan kecenderungan dan model dari tiap siswa.  Memerlukan pengorganisasian serangkaian pilihan (mungkin berdasarkan pada berbagai gaya belajar dan meminta siswa membuat pilihan individual. Tujuan (hasil belajarnya) sama bagi tiap orang, hanya jalannya yang berbeda-beda untuk sampai kesana.  Pendekatan toe-in yang paling dangkal membutuhkan pembuatan jalur belajar yang berbeda bagi semua siswa da memberikan tiap individu sedikit kendali terhadap kecepatan dan kedalaman, tetapi bukan arah, dari kemajuan mereka. Strategi belajar merupakan inti dari belajar seumur hidup. Jadi, semakin awal orang-orang terbiasa dengan hal itu, semakin baik. Akhirnya, jelas ada kaitannya dengan kewarganegaraan. Pilihan, negosiasi, penentuan keputusan bersama dan tanggung jawab personal merupakan semangat demokrasi. Sikap dan keterampilan ini dapat dikuasai hanya melalui pengalaman. RAS tidak diragukan lagi menjadi alasan mengapa Eric Jensen menyatakan “cara paling mudah untuk menarik siswa-siswi itu sederhana – sediakan variasi dan pilihan.” Banyak penelitian mendukung pentingnya siswa dapat mengendalikan kendali atas belajar mereka. Deci dan Ryan, menyimpulkan bahwa motivasi dan standar menurun dalam situasi dimana siswa tidak memiliki pilihan. Demikian juga, Mager dan McCann menunjukkan bahwa motivasi berbanding langsung dengan perasaan mengendalikan. Pada dasarnya, RAS berhubungan dengan sumsum tulang belakang, dimana ia menerima informasi yang dikirimkan langsung dari sistem indera yang naik. Sebenarnya, ia berfungsi sebagai suatu titik pertemuan untuk sinyal-sinyal dari dunia luar dan dalam milik kita. Ini adalah tempat bertemunya dunia luar kita, serta pikiran dan perasaan ”didalam” kita. Di jalur lain, RAS tersebut mengirimkan akson (transmitter) ke serebral korteks, yang memberinya kekuatan untuk ”menghidupkan” otak kita dan mengendalikan tingkat stimulasinya. Ada juga perbedaan diantara siswa Isu penting Orang berbeda. Orang bereaksi secara berbeda terhadap keadaan yang sama, mereka memiliki kesukaan dan ketidaksukaan yang berbeda, mereka memiliki perilaku bawaan yang berbeda-beda, mereka memandang dan memproses pengalaman secara berbeda. Jalan mana pun, bila dihadapkan pada perbedaan seperti ini, seorang guru mudah merasa kewalahan, dan ini adalah dimana contoh gaya belajar masuk. Menurut Rita Dunn, “Gaya belajar adalah cara dimana tiap siswa belajar berkonsentrasi terhadap proses dan mempertahankan informasi”. Ini dapat dilihat sebagai “suatu set karakteristik personal dan dipaksakan secara biologis dan developmental yang membuat metode pengajaran yang sama akan efektif bagi beberapa siswa dan tidak efektif untuk lainnya. Tiap orang memiliki gaya belajar; ini adalah sama khasnya dengan tanda tangan.” Gaya belajar dari seseorang adalah kombinasi dari kelima kategori:  Emosional: motivasi, ketekunan, tanggung jawab, struktur.  Sosiologis: diri sendiri, pasangan, rekan, dewasa, bervariasi.  Fisik: pemahaman, masukan, waktu, mobilitas.  Pskologis: global/analitik, hemisferisitas, impulsif/reflektif. Melihat cara sekolah dan dunia luas ini berjalan, kesuksesan siswa dan kesempatan kehidupan secara nyata dipertaruhkan. Maka penting untung mengatur keseimbangan yang tepat antara mendukung dan menantang gaya belajar siswa. Jika siswa diperbolehkan untuk selalu bekerja dengan cara yang disukainya, dia akan tetap sempit dan tidak siap. Di sisi lain, jika mereka dipaksa terlalu awal atau terlalu sering untuk bekerja dengan cara yang tidak disukai dan tidak nyaman, mereka tidak berprestasi dan bisa tersingkirkan. Ada dua pemecahan untuk hal ini: Pertama, pastikan bahwa tiap siswa mengalami cukup keberhasilan untuk mencapai suatu level kepercayaan diri. Kita diminta untuk sensitif terhadap gaya personalnya. Kedua, siswa yang telah cukup berhasil, dan oleh karenanya percaya pada diri sendiri untuk menjadi siswa yang mampu, cenderung meningkatkan dan menguasai tantangan untuk bekerja dengan cara yang tidak disukainya. Dorong mereka melakukan hal ini. Berikan kesempatan bagi siswa untuk bekerja dengan cara “baru”. Sediakan pelatihan – tunjukkan pada mereka bagaimana melakukannya, Berikan informasi – jelaskan mengapa ini yang bagus. Lakukan ini dengan sensitifitas, sadar-diri, dan niat yang teguh untuk tidak menyakitkan. 1. Kenali bahwa gaya yang anda sukai sendiri dapat menghalangi belajar efektif Selama bertahun-tahun para penelitintelah secara konsisten menemukan bahwa gaya yang dominan dari guru sendiri cenderung menentukan rencana yang dibuat untuk anak-anak mereka: Cara mereka menyusun topik; pemilihan metode dan sumber pengajaran; rancangan tugas; alokasi waktu; jenis bukti belajar yang dihasilkan oleh siswa; metode penilaian. Lebih dari itu, mindset mendasar dari guru menentukan cara mereka menata lingkungan belajar, nilai yang mereka tempatkan pada pekerjaan rumah, tes, nilai dan pecking oorder, reaksi mereka terhadap kelakuan buruk, pembuatan norma-norma kelas mereka yang tak tertulis, komunikasi non-verbal mereka yang tak kentara, dan juga ”penyampaian” informasi dan instruksi mereka yang eksplisit. Oleh karenanya, dasar pertama yang harus dicapai oleh guru yang peduli, tentunya, self-knowledge yang meningkat. Bruno Bettelheim, sang psikolog, berkata, ”ada...konsekuensi yang benar-benar destruktif sebagai akibat dari bertindak tanpa mengetahui apa yang dilakukan.” Diluar ini, tujuan untuk dasar kedua: kemauan untuk mengakomodasi individualitas siswa. Diatas semua ini, menemukan Mind Style atau gaya belajar kita sendiri memberi kita jalan untuk menolak godaan untuk bekerja secara otomatis sesuai kebiasaan, dan memutuskan untuk berhenti, berpikir secara empatik dan mulai keluar dari pola kita sendiri. Penting untuk mengetahui bahwa contoh yang berbeda memiliki akar yang berbeda, serta asumsi dan prinsip-prinsip dasar yang berbeda. Mereka tidak akan dapat berhasil digabungkan. Jadi cobalah beberapa dan rasakan salah satu yang memberikan kesadaran diri (self-awareness) paling banyak dan tantangan personal paling sesuai. Berhati-hatilah juga bahwa beberapa dari contoh dan instrumen yang ditawarkan belum diuji secara ilmiah, itulah mengapa mereka telah digabungkan bersama untuk memberikan indikasi kasar dan cepat. 2. Pahami gaya belajar siswa yang disuka, tetapi jangan mengelompokkan Penting untuk tidak mengandalkan hanya pada satu contoh model saja: tidak satupun dari model itu yang cukup menampilkan gambaran realitas, tiap model itu hanya merupakan sebuah proyeksi sederhana dari pandangan penciptanya terhadap realitas. Hati-hati, tidak semua model cocok dengan semua guru, sebaiknya guru membiasakan diri dengan beberapa model. Tiap orang menggunakan lebih dari satu gaya, oleh karenanya guru sebaiknya peka terhadap perbedaan-perbedaan, bukan dengan mengelompokkan siswa. 3. Akomodasikan gaya yang berbeda, tetapi jangan coba untuk terlalu tepat Ada delivery of diversity diluar meningkatnya self-knowledge, yaitu niat untuk mengakomodasi individualitas dan pemahaman tentang berbagai jenis gaya belajar dari siswa. Kunci dari hal ini adalah dengan memiliki banyak teknik pengajaran yang praktis di ujung jari guru. Tidak semua guru merasa mereka memilikinya. Terlalu sering kita bertemu dengan orang-orang yang sama, biasanya dalam kelompok departemen. Berbaurlah. Atur suatu brainstroming dan rencanakan dengan rekan yang akan mengajar subyek yang agak berbeda dan yang mungkin memiliki gaya belajar yang berbeda. Berbekal banyak cara praktis dan bervariasi dalam pencapaian tujuan belajar, guru kemudian memutuskan bagaimana menyampaikan strategi ini kepada sisiwa. Urutkan aktifitas belajar sehingga gaya yang berbeda diakomodasi dari waktu ke waktu adalah cara melakukan sesuatu yang paling sederhana, dan bagi banyak guru paling aman. 4. Mulai menyampaikan isu yang lebih besar Sekolah secara keseluruhan, masih dijalankan menurut gaya tertentu dari siswa. ”Ujian menuntut siswa mendemonstrasikan belajar abstrak dan sequential, maka kita harus mengajarkannya dengan cara ini.” Tentu saja logika guru seperti ini adalah salah, tetapi terus adanya dominasi dari bentuk penilaian yang dangkal memang menciptakan banyak ketidakadilan dan mengindikasikan kepada guru dan juga siswa, nilai yang diletakkan oleh negara kepada gaya belajar tertentu dibandingkan dengan yang lain. Kemudian ada isu sumber belajar. Buku teks, lembar kerja dan buku latihan masih mendominasi ”ruang meja” kebanyakan ruang kelas. Kenyataannya, ruang itu sendiri merupakan masalah. Seringkali hanya ada cukup ruang bagi siswa untuk duduk berhimpitan di belakang meja di sepanjang pelajaran, dari pelajaran satu ke lainnya. Ciri gedung yang seperti kotak menggambarkan jadwal dengan ciri seperti grid. Waktu ditentukan, subyek ditentukan, guru ditentukan, bahkan gerakan ditentukan, kehidupan dikotak-kotakkan; segalanya terasa ketat dan diatur. Tiga model popular Setelah melihat isu-isu penting tersebut, sekarang waktunya melihat tiga contoh gaya belajar yang banyak dipakai secara lebih detail. 1. Preferensi indera: visual, auditory, kinestetik Ide dasarnya adalah bahwa tiap orang memiliki indera dominan . Tiap orang lebih suka menggunakan indera ini untuk menerima dan menangani informasi baru – beberapa lebih suka melihat, beberapa lebih suka mendengarkan, lainnya akan lebih suka terlibat aktif dengan data baru tersebut. Tidak seorang pun dapat dikatakan melulu visual atau auditory atau kinetetik (fisik). Di kelas apa pun, dalam subyek apa pun, di sekolah mana pun secara rata-rata ada:  29% siswa dengan dominasi visual.  34% dengan dominasi auditory.  37% dengan dominasi kinestetik. Beberapa dari mereka dengan kecenderungan visual merespon dampak visual dari kata-kata, yang lain melalui OHP, gambar slide, presentasi PowerPoint, video, poster, darma wisata, diagram, foto, atau gambar dalam buku teks. Mereka dengan kecenderungan auditory memerlukan suara, suara guru atau sesama siswa dalam diskusi, presentasi teman, komentar dari video, kaset audio, atau pembicara tamu. Kelompok terbesar, yang memiliki kecenderungan kinestetik, perlu ”mengerjakan” belajar. Beberapa senang dengan aktifitas fisik – melipat, memotong, menempel, menata, memegang benda-benda. Lainnya harus berdiri dan bekerja. Siswa-siswi ini cenderung membuat kita paling sedih jika kebutuhan mereka tidak dipenuhi; mereka mudah menjadi gelisah. Mereka adalah yang paling rentan mengalami prestasi rendah dan terbuang. Jika guru tidak menyediakan penggunaan indera dominan mereka, kebanyakan siswa akan menggantinya dengan menggunakan posisi cadangan mereka. Ada beberapa siswa (sekitar 20%) yang mempunyai dominasi tunggal yang begitu kuat sehingga mereka akan menyerap informasi hanya bila disampaikan dalam gaya yng mereka sukai. Jika kebutuhan gaya belajar mereka tidak cukup dipenuhi, mereka cepat frustasi, bosan, tersingkirkan dan nakal. 2. Preferensi kognitif: analisis Gregorc Menurut Dr Anthony Gregorc, kegiatan belajar melibatkan dua proses menerima dan memesan informasi. Dia menjauhkan dirinya sendiri dari kelompok belajar brain-based, yang percaya bahwa pikiran dan otak terpisah. Setelah hampir tiga dekade penelitian fenomenologikal, Gregorc dengan yakin menyatakan bahwa ada perbedaan dalam cara orang memahami (menerima,menyerap) dan menata (mengorganisir, menyimpan dan referensi) data.Perbedaan-perbedaan dalam kegiatan berbeda. Ambil persepsi sebagai contoh, perbedaan itu dapat dipetakan dalam kontinuum dari konkret ke abstrak . 3. Profil intelegensia: Howard Gardner dari Harvard Untuk permulaan, proses meningkatkan intelegensi tidak lagi dianggap ditentukan saat lahir: ia dapat ditingkatkan oleh setiap orang. Beberapa siswa yang nampaknya cerdas tidak memiliki cukup bekal kecakapan yang diaplikasikan dengan kecerdasan mereka, tetapi kecakapan ini dapat, dan harus diajarkan agar seseorang cerdas secara aktif. Terdapat enam jenis intelegensi (atau ”kerangka pikiran") yang berbeda, yang masing-masing dapat ditelusuri hingga bagian terpisah dari otak manusia. Seluruh manusia memiliki delapan jenis intelegensi: a. Linguistik. b. Logika-matematika. c. Spasial. d. Musical. e. Fisik-kinestetik. f. Interpersonal. g. Intrapersonal. h. Naturalistik. Intelegensi linguistik: Berpikir dalam kata-kata, suka membaca dan menulis, menyukai cerita, suka bermain permainan kata, punya memori bagus untuk (nama, tempat, tanggal, puisi, lirik dan hal kecil), mengetahui mengeja itu mudah, punya kosa kata yang berkembang baik. Intelegensi logika-matematika: Mudah melihat pola, suka ide-ide abstrak, suka permainan strategi dan teka-teki logika, menjumlah dengan mudah di luar kepala, mengajukan pertanyaan besar mis. ”dimana alam semesta berakhir”, menggunakan komputer, membuat alat untuk menguji benda yang tidak dimengerti, berpikir dalam kategori melihat hubungan antar ide. Intelegensi spasial: Berpikir dalam image dan gambar, mudah mengingat dimana benda telah diletakkan, suka (menggambar, merancang, membangun, melamun), membaca peta dan diagram dengan mudah, mengerjakan teka-teki jigsaw dengan mudah, terpesona oleh mesin, meniru gambar dengan akurat. Intelegensi musical: Sering bernyanyi, bersenandung atau bersiul sendiri, ingat melodi, punya indera yang baik untuk ritme, memainkan sebuah instrumen, sensitif terhadap suara di lingkungan, perlu musik sewaktu belajar. Intelegensi fisik-kinestetik: Mengingat melalui sensasi fisik, sulit duduk diam yang lama, punya intuisi tentang jawabab ujian, bagus dalam olah raga atau tari atau akting atau mime, punya koordinasi yang sangat bagus, berkomunikasi dengan baik melalui isyarat, belajar paling baik melalui aktifitas (fisik, simulasi dan role play), meniru orang dengan mudah. Intelegensi interpersonal: Memahami orang dengan baik, belajar paling baik dengan berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain, bagus dalam memimpin dan mengorganisir, mengerti perasaan orang lain, penengah diantara orang-orang, suka bermain permainan sosial, mendengarkan orang lain dengan baik. Intelegensi intrapersonal: Suka bekerja sendiri, memotivasi diri sendiri, intuitif, mempunyai perasaan mandiri, berkemauan kuat dan punya pendapat personal yang kuat, menentukan tujuan sendiri, percaya diri, reflektif, sadar akan kekuatan dan kelemahan pribadi. Intelegensi naturalistik: Mengenali flora dan fauna – membedakan dan mengenali pola di alam, menggunakan hal-hal umum dan khas untuk mengkategori dan mengelompokkan fenomena, menggunakan kriteria secara konsisten, menggunakan kemampuannya ini secara produktif (mis. bertani, memelihara binatang, perlindungan). Ada agenda lain juga Kelompok akhir dari materi yang menginformasikan pemikiran masa kini tentang belajar muncul dari dua sumber: hasrat saat ini untuk menangani kekhawatiran sosial dan ekonomi yang mendesak, dan keyakinan yang kuat akan nilai-nilai tertentu. Hal ini menciptakan suatu kombinasi antara pragmatisme dan ideologi. Belajar untuk belajar menggabungkan keyakinan bahwa setiap orang seharusnya melakukan yang terbaik dalam hidup mereka dengan kebutuhan akan persaingan komersial. 1. Belajar untuk belajar Diperlukan dua set kecakapan, yaitu: Kecakapan memproses informasi: • Merencanakan. • Mengumpulkan. • Memproses. • Menyajikan. Kecakapan inti yang mendasar: • Manajemen waktu. • Kecakapan sosial. • Kecakapan reflektif. • Kecakapan menilai diri sendiri. • Kecakapan untuk mencari pertolongan. Guru menempatkan semakin banyak pelajaran dan materi PR di website atau internet sekolah untuk diikuti siswa. E-tutoring mulai populer. Belajar, bahkan belajar formal, tidak lagi tergantung pada guru. Dengan sumber hardware yang mencukupi, guru sekarang dapat menjadi manajer dan fasilitator, pembimbing dan pelatih. 2. Kerja sama, demokrasi dan kewarganegaraan Penting melakukan apa yang bisa kita kerjakan dan menangkap kesempatan yang diberikan oleh pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan kebiasaan demokrasi. Di sekolah-sekolah menengah kita dapat melakukan yang terbaik untuk menghasilkan lagi minat untuk bekerja sama dan untuk memberikan pelatihan dalam kecakapan demokratis. 3. Keikutsertaan Perhatian terhadap keikutsertaan memiliki basis moral. Ini merupakan permasalahan tentang keadilan sosial dan kesempatan yang sama. Syarat minimalnya, guru dituntut untuk menciptakan komunitas belajar yang dapat menerima (acceptant), sehingga setiap siswa dijamin bebas dari cemoohan dan ejekan. 4. Kecakapan utama, melek huruf dan angka Melek huruf dan angka hanyalah perangkat. Mereka sendiri bukan tujuan, hanya bagian dari instrumen yang kita gunakan untuk membawa kita kesana. Alasan dari pendekatan belajar dalam cara tertentu, niat di belakang aktifitas ini, dan tujuan dari aktifitas ini adalah meraih prestasi. Mereka ada tujuh, yaitu: a. Berpikir; siswa memproses data secara aktif, logis, lateral, imajinatif, deduktif, dsb. b. Kecerdasan emosional; belajar menangani emosi dan menghubungkan dengan lainnya secara trampil; mengembangkan ciri personal positif seperti kendali diri dan nilai-nilai seperti keadilan. c. Kemandirian; siswa menguasai sikap dan kecakapan yang membuat mereka mampu memulai mempertahankan belajar tanpa guru. d. Saling ketergantungan; siswa terlibat dalam mutualitas, yang merupakan inti dari kerja sama dan basis dari demokrasi. e. Sensasi ganda; siswa mendapat pengalaman melalui sejumlah indera bersama-sama dari efek melihat, mendengar dan melakukan. f. Fun; kesenangan yang nyata. g. Artikulasi; siswa membicarakan aau menulis pikiran, seringkali dalam bentuk ”draft”, sebagai suatu bagian penting dari proses penciptaan pemahaman personal. Dalam lingkungan yang keras, guru individu dapat maju terus untuk menciptakan sebuah oasis sukses yang agung. Diperlukan dua ciri khusus: kecakapan dan kemauan. Misalnya, menjalankan proses-proses yang rumit dalam ”pasar” memerlukan keterampilan manajemen kelasyang bagus. Di tangan guru yang cekatan, teknik-teknik tersebut dapat sangat berhasil, bahkan di suatu keadaan yang janggal. Jelas ada banyak persyaratan untuk keberhasilan dari implementasi ide-ide. Trik dan Taktik Mengajar tidak ditujukan untuk mendesain ulang sistem pendidikan, meskipun hal itu mungkin sangat diharapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar